25 November 2007

Jangan Melangkah Setengah hati

Oleh : Sofyan el-Minangy
“Penulis adalah pemerhati Furum Ukhuwah mahasiswa sumatera”

”Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkAllah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”

Namanya Abu Qais. Berasal dari bani Waqif, sebuah ksmpung di Madinah. Ia bahkan kepala suku itu. Tidak ada yang istimewa dari Abu Qais, juga bani Waqif, kecuali justru ialah satu-satunya kabilah yang menolak Islam, ketika mush’ab bin Umair mengubah Yatsrib menjadi kampong Muslim yan terang benderang. Ketika kemudian tidak ada rumah pun kecuali di dalamnya ada muslim dan muslimah.
Bila Abu Qais tak kunjung menerima Islam, itu bukan karena ia tak mengerti. Abu Qais tidak saja kepala suku yang pintar, ia juga penyair ulung, tokoh yang disegani, dan penganut ‘agama hanifiyyah’ sebuah keyakinan kepada ‘keaslian kemanusiaan’ yang lurus. Keyakinan itu pula bahkan, yang menjadikannya menolah menjadi Yahudi atau Nashrani. Tetapi itu pula yang membuatnya tak segera menerima Islam. Di dalam dirinya ada kebimbangan, juga kehendak yang setengah hati untuk menerima Islam. Baginya, menjadi orang hanifiyyah dirasa sudah cukup.
Hari semakin berlalu, ketika kota Makkah ditaklukkan kaum muslimin, Abu Qais masih bersikap setengah hati untuk mau menerima Islam. Sampai akhirnya, ia berjanji akan masuk Islam tahun depan, tetapi sayang..!!, satu bulan kemudian ia meninggal, menemui ajal yang tak pernah ia sangka kapan datangnya.
Kisah ini menggambarkan akan bahaya dari sikap setengah hari, betapa tidak..?, adakah bencana yang lebih besar dari mati dalam status tidak sebagai orang muslim..?, adakah bencana yang lebih mengerikan dari menolak ajaran Islam yang sudah dipelupuk mata…?
Sebuah keputusan adalah nasib. Ia mengambil perannya pada wilayah ikhtiar kemanusiaan kita. Kita menetapkan dan karenanya kita meniti kemantapan itu. Kita berbuat, dan karenanya kira akan menuai hasil. Kita menanam dan oleh karenanya kita akan memetiknya.
Pada sebahagian besar keputusan kita, ada implikasi yang sangat serius. Implikasi bahagia atau sengsara, pahit atau manis, bahkan, surga atau neraka. Itulah implikasi nasib kita. Terlebih keputusan yang berhubungan dengan puncak segala urusan : Iman kepada kebenaran Islam, Sesuatu yang akan menjadi bekal utama seorang untuk menghadap pencipta seluruh alam.
Karenannya, hidup tidak memberi ruang yang istimewa bagi segala keputusan setengah hati. Tidak saja karena ia bisa mengundang bencana, tetapi waktu yang berlalu tidak mungkin diputar kembali ke belakang, sebuah keputusan masa lalu yang kini menjadi hitam-putih nasib kita, tak akan bisa memutar ulang versi revisinya.
Bisa dibayangkan nasib beratus-ratus nyawa manusia yang bergantung pada seorang pilot yang bila ragu dan setengah hati dalam mengambil keputusan ketika situasi genting, sebuah keputusan bisa berarti kehidupan atau kematian walau kekecewaan menjadi pilihan yang pasti didapatkan.
Sebuah kesempatan untuk kita mengubah diri kadang tidak datang dua kali, Karenanya keputusan setengah hati pada momentum yang sangat istimewa-seperti dalam contoh Abu Qais-itu adalah perjudian dengan kerugian yang sudah pasti. Adalah mengadu nasib dengan kekalahan sudah pasti, tidak saja karena kesempatan tidak selalu datang berulang, juga karena keputusan itu berpacu dengan kematian yang bisa datang kapan saja.
Bunda Teressia pernah berkata kepada muridnya “Jika engkau hendak memulai suatu pekerjaan maka hadapi pekerjaan itu dengan dengan sepenuh hati atau tidak sama sekali”, bahkan ketika kita gagal berencana untuk masa depan kita, sudah sangat bisa dipastikan kita sedang merecanakan untuk gagal.
Dalam sebuah organisasi terkecil-Fumas-sekalipun sikap setengah hati sangat berbahaya dan bisa menghancurkan organisasi tersebut, konon lagi di sebuahnegara yang besar, karena ketika dibutuhkan ketegasan dalam mengambil sikap maka ketika itu juga sedang dipertaruhkan kelanjutan dari eksistensi organisasi tersebut.
Seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan bijaksana ia akan menjalankan apa yang dipimpinnya dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab, karena setiap kepemimpinan pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya selama ini, okelah ia bisa selamat dari vonis dunia, tapi apakah ia bisa melepaskan diri dari hukuman Allah di akhirat nanti.
Alangkah sangat berbahayanya jika para ulama mazhab yang empat meraka setengah hati dan ragu dalam memfatwakan suatu hukum yang berkaitan dengan kemashlahatan umatnya, oleh karenanya sebuah keputusan yang mereka buat tidak pernah mereka lakukan dengan keraguan dan setengah hati, karena mereka berkeyakinan ketika sebuah fatwa dikeluarkan maka ketika itu salah dan benar merupakan sebuah resiko, jika mereka benar maka sepuluh kebaikan akan mereka terima tetapi jikan mereka salah mereka akan mendapatkan satu kebaikan dari kesalahannya. Di sinilah kebulatan hati sangat dibutuhkan hatta dalam masalah terkecil sekalipun.
Sebuah keputusan adalah nasib. Tidak saja dalam sebuah pengetian ideology, tapi juga untuk banyak urusan hidup duniawi. Setiap kita punya titian hidup yang berbeda. Punya kesempatan emas yang berbeda. Tetapi segalanya bertumpu pada satu hal: keputusan sepenuh hati untuk bertindak, dengan keyakinan yang benar, pada waktu yang tepat dan dengan perhitungan yang cermat. Ini memang tidak mudah. Tetapi, untuk kepentingan apapun tidak ada waktu dan tempat untuk sebuah keputusan setengan hati. Kita harus mencoba karena tidak ada pilihan selain itu.
Bulatkan hati, kuatkan tekat ketika telah melangkah, karena sebuah cita-cita bergantung pada niat yang kuat ”Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakk Allah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”

1 komentar:

Erisia Rodhini mengatakan...

kok blog e norot2 acu ge?