27 November 2007

Belajar dari kesalahan

Setiap orang pasti pernah merasa salah, setiap manusia memang sudah digariskan untuk bersentuhan dengan kesalahan dan kekhilafan, "al insan makanu khata' wannisyan" artinya manusia itu tempat atau lahannya melakukan kesalahan, bagaimanapun seseorang tersebut tidak ada yang bersih dari noda dan dosa, nabi sekalipun tidak ada yang tidak pernah malakukan kesalahan, mulai dari nenek moyang kita Adam sekalipun tidak bisa menghindari dirinya dari kesalahan yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga, nabi Musa contohnya pernah memukul seseorang yang menyebabkan orang tersebut terbunuh, nabi Isa pernah ditegur oleh Allah akan sikap dan angapan orang Israel yang menuhankan Isa, bahkan Nabiyallah Muhammad sekalipun pernah mendapat teguran keras dari Allah ketika Beliau tidak menghiraukan pertanyaan Abdullah bin Ummi Maktum den lebih mementingkan kedatangan tokohj yahudi pada waktu itu yang kisah ini diabadikan dalam al-Quran dalam surah Abasa watalla, sehingga Muhammad merasa malu ketika saat bertemu muka dengan Ibnu Ummu Maktum
Seluruh contoh diatas tadi dapat menjadi refleksi bagi diri kita bahwa bagaimanapun seseorang tersebut mau tak mau akan selalu dan terus bersentuhan dengan kesalahan dan kekeliruan oleh karenanya kalau mau bersih dari kesalahan dan tidak mau keliru ya tidak usah jadi manusia alias jadi malaikat saja, karena dunianya para malaikat adalah dunia yang tidak akan bersentuhan dengan kesalahan karena memang malaikat diciptakan untuk tunduk patuh terhadap Allah taala.
Yang jadi masalah sekarang adalah, sejauh mana kita menyikapi setiap kesalahan dan kekeliruan yang telah kita lakukan dan setiap kesalahan yang telah dilakukan oleh orang lain, akankah kita larut dalam kesalahan yang serupa dan terus melanjutkan kesalahan yang kita perbuat tersebut, atau kita introspeksi diri akab kekhilafan dan kesalahan tadi.
Orang yang bijak adalah orang yang belajar banyak dari kesalahan yang pernah dilakukan dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak jatuh kedalam lubang kesalahan yang sama, penulis pribadi sering malahan terjatuh dalam satu kesalahan yang sama, tetapi ketika penulis terjatuh dan terjerembab lagi kedalam kesalahan tersebut penulis sangat menyadari akan kelemahan diri manusia serta keingkaran manusia terhadap tuhannya, "rabbighfirlana zunubana".
Seorang penemu selalu memulai hasil temuannya dengan kesalahan, bahkan semua orang pintar sekalipun selalu terbentur dengan berbagai kesalahan dan kekeliruan, adalah sangat naif sekali ketika kita berbuat salah lantas tidak mau belajar dari kesalahan yang ada bahkan meneruskan kesalahan demi kesalahan yang telah dibuat, dan sangat celaka sekali kesalahan yang orang lain perbuat tidak bisa kita maafkan dan kita tidak bisa menempatkan kesalahan orang lain tersebut pada tempat yang proposional.
Allah Swt yang maha segala-galanya, yang kasih sayangnya tidak terhingga, masih memafkan dan menerima permintaan ampun dari nabi Adam as yang nyata-nyata telah melanggar larangan Allah dengan memakam buah Khuldi, Rosululah Saw, yang sangat mulia mampu mwemberikan maafnya kepada seorang Quraisy yang nyata-nyata tiap hari meludahi beliau ketika hendak berjalan ke mesjid dan memaafkan orang yang terang-terang mhendak membunuh beliau, konon lagi kita manusia yang tidak punya daya dan upaya, yang kitapun tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan, apa yang membuat kita untuk tidak mampu untuk membukakan pintu maaf dan memaklumi kekhilafan orang lain, alangkah sombong dan angkuhnya kita.
Sebuah kesalahan yang disadari bahwa itu salah tidaklah akan membuat seseorang menjadi terhina, akan tetapi yang akan membuat seseorang terhina bila kesalahan yang ada diulangi dan selalu betah dengan kesalahan yang sedang diperbuat.
orang yang baik dan sukses adalah bukan orang yang tidak pernah salah, tapi orang yang mampu sadar akan kesalahannya dan mengambil pelajaran dari kesalahan yang telah dikerjakan kemudian berusaha untuk tidak jatuh kedalam lubang kesalahan yang serupa, kalaupun masih tetap jatuh juga ia berusaha untuk segera keluar dari kesalahan dan kekeliruan yang ia perbuat.
Salah satu terapi kesalahan yagn bisa kita lakukan adalah : Berusahalah untuk bersikap terbuka terhada orang lain, cari teman baik yang bisa menasehati ketika berada dalam kesalahan, berusahalah menerima setiap nasehat dan kritikan dari orang lain, curhat dan sarring dengan orang lain merupakan cara terbaik untuk bisa melangkah ke pada hal yang lebih baik, minta nasehatlah dan wejanganlah dari tokoh-tokoh karismatik yang ada disekeliling anda, serta introspeksi/muhasabah nafsi setiap saat, jangan menganggap diri sudah cukup dan tidak butuh yang lain, buku merupakan guru yang terbaik dalam proses penyadaran diri dari kesalahan.(Sekian)

25 November 2007

Jangan Melangkah Setengah hati

Oleh : Sofyan el-Minangy
“Penulis adalah pemerhati Furum Ukhuwah mahasiswa sumatera”

”Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkAllah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”

Namanya Abu Qais. Berasal dari bani Waqif, sebuah ksmpung di Madinah. Ia bahkan kepala suku itu. Tidak ada yang istimewa dari Abu Qais, juga bani Waqif, kecuali justru ialah satu-satunya kabilah yang menolak Islam, ketika mush’ab bin Umair mengubah Yatsrib menjadi kampong Muslim yan terang benderang. Ketika kemudian tidak ada rumah pun kecuali di dalamnya ada muslim dan muslimah.
Bila Abu Qais tak kunjung menerima Islam, itu bukan karena ia tak mengerti. Abu Qais tidak saja kepala suku yang pintar, ia juga penyair ulung, tokoh yang disegani, dan penganut ‘agama hanifiyyah’ sebuah keyakinan kepada ‘keaslian kemanusiaan’ yang lurus. Keyakinan itu pula bahkan, yang menjadikannya menolah menjadi Yahudi atau Nashrani. Tetapi itu pula yang membuatnya tak segera menerima Islam. Di dalam dirinya ada kebimbangan, juga kehendak yang setengah hati untuk menerima Islam. Baginya, menjadi orang hanifiyyah dirasa sudah cukup.
Hari semakin berlalu, ketika kota Makkah ditaklukkan kaum muslimin, Abu Qais masih bersikap setengah hati untuk mau menerima Islam. Sampai akhirnya, ia berjanji akan masuk Islam tahun depan, tetapi sayang..!!, satu bulan kemudian ia meninggal, menemui ajal yang tak pernah ia sangka kapan datangnya.
Kisah ini menggambarkan akan bahaya dari sikap setengah hari, betapa tidak..?, adakah bencana yang lebih besar dari mati dalam status tidak sebagai orang muslim..?, adakah bencana yang lebih mengerikan dari menolak ajaran Islam yang sudah dipelupuk mata…?
Sebuah keputusan adalah nasib. Ia mengambil perannya pada wilayah ikhtiar kemanusiaan kita. Kita menetapkan dan karenanya kita meniti kemantapan itu. Kita berbuat, dan karenanya kira akan menuai hasil. Kita menanam dan oleh karenanya kita akan memetiknya.
Pada sebahagian besar keputusan kita, ada implikasi yang sangat serius. Implikasi bahagia atau sengsara, pahit atau manis, bahkan, surga atau neraka. Itulah implikasi nasib kita. Terlebih keputusan yang berhubungan dengan puncak segala urusan : Iman kepada kebenaran Islam, Sesuatu yang akan menjadi bekal utama seorang untuk menghadap pencipta seluruh alam.
Karenannya, hidup tidak memberi ruang yang istimewa bagi segala keputusan setengah hati. Tidak saja karena ia bisa mengundang bencana, tetapi waktu yang berlalu tidak mungkin diputar kembali ke belakang, sebuah keputusan masa lalu yang kini menjadi hitam-putih nasib kita, tak akan bisa memutar ulang versi revisinya.
Bisa dibayangkan nasib beratus-ratus nyawa manusia yang bergantung pada seorang pilot yang bila ragu dan setengah hati dalam mengambil keputusan ketika situasi genting, sebuah keputusan bisa berarti kehidupan atau kematian walau kekecewaan menjadi pilihan yang pasti didapatkan.
Sebuah kesempatan untuk kita mengubah diri kadang tidak datang dua kali, Karenanya keputusan setengah hati pada momentum yang sangat istimewa-seperti dalam contoh Abu Qais-itu adalah perjudian dengan kerugian yang sudah pasti. Adalah mengadu nasib dengan kekalahan sudah pasti, tidak saja karena kesempatan tidak selalu datang berulang, juga karena keputusan itu berpacu dengan kematian yang bisa datang kapan saja.
Bunda Teressia pernah berkata kepada muridnya “Jika engkau hendak memulai suatu pekerjaan maka hadapi pekerjaan itu dengan dengan sepenuh hati atau tidak sama sekali”, bahkan ketika kita gagal berencana untuk masa depan kita, sudah sangat bisa dipastikan kita sedang merecanakan untuk gagal.
Dalam sebuah organisasi terkecil-Fumas-sekalipun sikap setengah hati sangat berbahaya dan bisa menghancurkan organisasi tersebut, konon lagi di sebuahnegara yang besar, karena ketika dibutuhkan ketegasan dalam mengambil sikap maka ketika itu juga sedang dipertaruhkan kelanjutan dari eksistensi organisasi tersebut.
Seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan bijaksana ia akan menjalankan apa yang dipimpinnya dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab, karena setiap kepemimpinan pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya selama ini, okelah ia bisa selamat dari vonis dunia, tapi apakah ia bisa melepaskan diri dari hukuman Allah di akhirat nanti.
Alangkah sangat berbahayanya jika para ulama mazhab yang empat meraka setengah hati dan ragu dalam memfatwakan suatu hukum yang berkaitan dengan kemashlahatan umatnya, oleh karenanya sebuah keputusan yang mereka buat tidak pernah mereka lakukan dengan keraguan dan setengah hati, karena mereka berkeyakinan ketika sebuah fatwa dikeluarkan maka ketika itu salah dan benar merupakan sebuah resiko, jika mereka benar maka sepuluh kebaikan akan mereka terima tetapi jikan mereka salah mereka akan mendapatkan satu kebaikan dari kesalahannya. Di sinilah kebulatan hati sangat dibutuhkan hatta dalam masalah terkecil sekalipun.
Sebuah keputusan adalah nasib. Tidak saja dalam sebuah pengetian ideology, tapi juga untuk banyak urusan hidup duniawi. Setiap kita punya titian hidup yang berbeda. Punya kesempatan emas yang berbeda. Tetapi segalanya bertumpu pada satu hal: keputusan sepenuh hati untuk bertindak, dengan keyakinan yang benar, pada waktu yang tepat dan dengan perhitungan yang cermat. Ini memang tidak mudah. Tetapi, untuk kepentingan apapun tidak ada waktu dan tempat untuk sebuah keputusan setengan hati. Kita harus mencoba karena tidak ada pilihan selain itu.
Bulatkan hati, kuatkan tekat ketika telah melangkah, karena sebuah cita-cita bergantung pada niat yang kuat ”Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakk Allah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”